
Ternyata Ketulusanlah Yang Membuat Cinta Terasa Lebih Berwarna
by: M. Hasby Maulana
Pertama
kali saya melihat cover seri novel terbaru Kang Abik, saya langsung terpikat
dengan judul novel tersebut. Betapa tidak, dipadu dengan warna orange menyala,
di sana sudah terpampang dengan jelas gambar Great Wall nan megah di China, ditambah lagi dengan tulisan besar
berwarna putih ‘Cinta Suci Zahrana’. Yah, itulah judul novel terbaru adikarya
novelis no.1 Indonesia, Habiburrahman El-Shirazy.
Memang
sudah menjadi kebiasaan saya sejak dulu, kalau saya gemar sekali meminjam buku
kepada orang lain, daripada membelinya sendiri. Apalagi buku-buku sastra
layaknya novel. Akan tetapi, untuk buku-buku ilmiyah, saya kerapkali membeli
dengan uang sendiri daripada meminjam, karena menurut saya buku ilmiyah itu
manfaatnya mengalir terus, beda halnya dengan buku-buku sastra layaknya novel,
setelah kita baca sampai halaman terakhir ya selesailah semuanya, tapi yang
perlu digarisbawahi di sini adalah bukan maksud saya untuk menganak tirikan
buku-buku sastra dan lain sebagainya. Toh, awal kepenulisan saya berangkat dari
seringnya saya berjibaku dengan karya-karya sastra penulis ternama. Sampai detik
ini, alhamdulillah saya sudah
menamatkan beberapa karya fenomenal novelis bangsa kita, sebut saja Andrea Hirata
dengan tetralogi Laskar Pelangi-nya
dan dwilogi Cinta Dalam Gelas.
Dilanjutkan dengan novel Ayat-Ayat Cinta,
KCB 1 dan 2, Dalam Mihrab Cinta, Bumi
Cinta, dan yang terakhir Cinta Suci
Zahrana, yang kesemuanya itu adalah buah tangan Sang Novelis no.1 Indonesia
tersebut. Oh ya, ada novel Negeri 5
Menara dan Ranah 3 Warna yang
menampilkan sisi-sisi lain pesantren yang tidak pernah dilihat serta jarang diketahui
oleh banyak orang, novel ini terbentuk dalam trilogi. Berkat novel seri yang
pertama tersebut, A. Fuadi, sang penulis memperoleh banyak penghargaan
prestisius, di antaranya adalah Khatulistiwa Award 2011.
Esensi
dan substansi cinta memang tiada bosannya diperbincang dan dibicarakan dalam
banyak novel. Dari zamannya Novel Sitti
Nurbaya berlanjut kepada kisah romantisme novel Misteri Tenggelamnya Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah milik ulama sekaligus budayawan Buya
HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah)
Semuanya
menjurus pada sebuah ketulusan cinta yang telah mereka berikan kepada
masing-masing pasangannya. Lihat saja betapa tulusnya si Ikal menanti
kedatangan A Ling, padahal hal itu terdengar mustahil. Akan tetapi semuanya
berubah, sampai akhirnya Ikal mampu bertemu kembali dengan Sang Pujaan Hati.
Begitu pun kisah yang telah ditorehkan oleh Zainuddin dan Hayati dalam novel Misteri Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Di dalam kesedihan dan kekecewaan akibat pinangannya pada keluarga Hayati
ditolak mentah-mentah, tak lantas Zainuddin patah arang, akan tetapi dia terus
saja bersabar dan menerima itu dengan tulus. Belum lagi berlembar-lembar surat
yang telah ditulis Zainuddin kepada Hayati, dan sebaliknya. Penuh dengan nilai
romantisme dan kekuatan jiwa bukan? Di bawah ini ada sepenggal kata-kata
Zainuddin dalam sebagian surat-suratnya kepada Hayati :
“Lebih seratus kali kusebut namamu
dalam sehari. Kadang-kadang saya terpanggil dalam nyanyianku, kadang-kadang
dalam ratapku. Kicut pintu ditolak angin, terasa langkah kau yang terdengar.
Masih juga belum percaya, kau telah membuang sayadari ingatanmu. Saya tanyai
diri saya, apakah saya berdosa kepadamu? Tidak rasanya, bahkan dosa yang lain
yang kerap saya perbuat untuk mencukupkan cintaku kepadamu”
Indah
sekali bukan kata-kata yang dituturkan oleh Zainuddin itu? Seolah, ketulusan
cinta yang dia milikilah telah menuntunnnya dalam menulis berbaris-baris kata
tersebut. Maka begitulah, secara klise kusimpulkan ternyata berkat sebuah
ketulusanlah yang membuat cinta terasa lebih berwarna…
0 komentar:
Posting Komentar