
Harus mengumpulkan kembali serpihan-serpihan kenangan yang berpencar, untuk mengenang betapa penting arti sahabat. Tentang hari-hari ketika kita mandi bersama, bergurau bersama, atau tidur bersama. Tentang kita yang merasa prihatin ketika di antara kita ada yang bersedih kemudian kita satu persatu saling mendekat hanya karena berharap menghilangnya kegelisahan dalam diri kawan yang susah. Inilah sahabat, maknanya teramat besar, terutama ketika kita jauh dari keluarga.
Masih bisakah kita mengenang? Tentang suasana hati yang menghanyut di padang Jauhari yang membentang ini. Ketika fajar kita adalah dzikir yang mengalir syahdu melintasi lorong-lorong langit yang masih petang. Suara Al-Qur’an mengiringi langkah kita, sejak bangun hingga melangkah ke masjid. Kita bangun di kala yang lain terlelap, hanya sekedar berjalan di malam hari. Bersama-sama menuju masjid. Dengan berbekal hasrat untuk mendapat “Maqoman Mahmudah” seperti pesan guru kita.
Juga tentang kita yang harus berkejaran. Berlarian saat panas menyengat. Hanya karena disiplin yang menempa kita. Karena guru kita, kiai kita tak ingin kita lemah. Mereka hanya menitipkan harap pada jiwa-jiwa kita agar kita nanti menjadi pemuda yang disiplin. Yang tegar melawan matahari, terus berlari mengejar waktu seperti dulu kita berlari sebelum masjid meninggalkan kita. Sebelum kita berkalung penyesalan.
Sungguh banyak pelajaran hidup di padang ini. Hingga saat kita terjatuh sakit. Kita hanya bisa memejamkan mata. Sampai kita sadar bahwa saat mata terbuka, bukan ibu yang ada di sisi kita. Tapi sahabat. Sahabat yang sedari tadi memandang wajah kita yang lelap. Hingga ketika kita sadar, dia berucap “Kamu baik-baik saja kan?”. Sungguh, apa yang lebih mengharukan kecuali ketika orang yang bukan darah daging kita benar-benar mencintai kita layaknya darah daging kita sendiri? Maka air mata adalah jawaban atas sahabat yang selalu ada di kala sakit. Yang selalu di sisi saat kita sedih. Meskipun sahabat itu teramat jauh, bahkan tak memiliki aliran darah dengan kita.
Inilah pesantren kita, padang Jauhari tempat kita menghabiskan malam dengan belajar bersama. Tempat kita menyadari bahwa hidup tidaklah sendiri. Tempat kita berguru, mendatangi kamar-kamar guru hanya demi satu ilmu yang tak melekat di hati. Inilah padang Jauhari, tempat kita mengasah diri, melatih sikap. Sebelum kita benar-benar dilepaskan di antara huru-hara zaman. Tempat kita menyimak lembut butir-butir kata Kiai kita, kala pagi Jum’at menjelang.
Ah, aku rindu. Rindu dengan suasana Jum’at pagi. Ketika selepas Subuh kami menunggu seseorang yang datang dari pintu selatan. Dengan menyandang surban yang ia gunakan sekenanya. Hingga ia duduk dan menghaturkan salam. Dia Kiaiku, Kiai kita. Yang sejak pukul 3 pagi tadi berada di masjid demi kita. Anak-anaknya. Tapi aku digiring pada masa ketika aku merasa rindu dengan derap langkahnya. Dengan candanya. Dengan leluconnya. Dengan ketegasannya. Dengan sifat keayahannya. Kemana engkau, lelaki yang selalu kami tunggu langkahnya kala Fajar Jum’at menggelayut. Aku rindu dengan tubuh gagahmu. Rindu dengan suara pelanmu. Rindu dengan semua tentangmu.
Inilah Al-Amien. Padang Jauhar. Tempat dimana aku merenda mimpi. Dulu ketika aku masih kecil dan berada di kampung halamanku, aku tak pernah berpikir bahwa Sumenep akan menjadi bagian penting dari perjalanan hidupku. Tak pernah berpikir bahwa Sumenep dengan Al-Amiennya yang akan mencipta skenario indah buat hidupku. Sumenep dengan Al-Amiennya sangat berharga, mengajarkanku segalanya. Menuntunku untuk melangkah dan mengantarku hingga ke altar Al-Azhar.
Oleh: Syaddad Ibnu Hambari



